Korupsi dan nepotisme dalam politik Orde Baru telah lama menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Korupsi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi, seringkali terjadi di tingkat pemerintahan pada masa Orde Baru. Begitu pula dengan nepotisme, yang merujuk pada praktik memberikan keuntungan kepada keluarga atau kerabat dalam pemberian jabatan atau kontrak pemerintah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Transparency International, korupsi di Indonesia pada era Orde Baru mencapai tingkat yang sangat tinggi. Banyak pejabat pemerintah yang terlibat dalam skandal korupsi besar-besaran, yang merugikan negara miliaran rupiah. Kasus-kasus korupsi seperti kasus BLBI dan kasus korupsi Suharto menjadi bukti nyata betapa merajalelanya korupsi di masa tersebut.
Selain korupsi, praktik nepotisme juga menjadi persoalan serius dalam politik Orde Baru. Banyak keluarga dan kerabat pejabat pemerintah yang mendapatkan jabatan-jabatan penting tanpa melalui proses seleksi yang transparan. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam lingkungan birokrasi dan merugikan masyarakat luas.
Menurut pakar politik Indonesia, Dr. Arbi Sanit, “Korupsi dan nepotisme dalam politik Orde Baru tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak moralitas dan etika dalam pemerintahan. Praktik-praktik tersebut menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan melemahkan fondasi demokrasi.”
Meskipun Orde Baru telah berakhir dan reformasi telah dilakukan, namun korupsi dan nepotisme masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan dalam politik Indonesia. Masyarakat diharapkan untuk terus mengawasi dan melawan praktik-praktik korupsi dan nepotisme agar bangsa ini dapat maju dan berkembang dengan adil dan transparan.