Kekuasaan dan oposisi dalam politik Orde Baru merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam sejarah Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, kekuasaan sangat kuat dipegang oleh pemerintah, sedangkan oposisi seringkali diabaikan atau bahkan ditekan.
Menurut Catleya Indira Prastuti, seorang peneliti politik dari Universitas Indonesia, kekuasaan dalam politik Orde Baru sangat sentralistik dan oposisi seringkali dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas pemerintahan. “Pemerintah Orde Baru sangat mengontrol segala aspek kehidupan politik, dan oposisi seringkali dianggap sebagai musuh yang harus dilawan,” ujarnya.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus penganiayaan terhadap aktivis pro-demokrasi seperti Marsinah dan Munir oleh aparat keamanan pada masa Orde Baru. Hal ini menunjukkan betapa kekuasaan dalam politik Orde Baru sangat dominan dan oposisi seringkali menjadi korban.
Namun, oposisi dalam politik Orde Baru juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dan memperbaiki sistem politik yang otoriter. Menurut Arief Budiman, seorang ahli politik dari Universitas Indonesia, oposisi merupakan “penyeimbang kekuasaan yang diperlukan dalam sebuah sistem demokrasi yang sehat.”
Kekuasaan dan oposisi dalam politik Orde Baru mencerminkan dinamika politik yang kompleks dan kadangkala konflik. Namun, perjuangan oposisi dalam melawan kekuasaan otoriter juga menunjukkan semangat untuk menciptakan sebuah sistem politik yang lebih demokratis dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan melihat sejarah politik Orde Baru, kita dapat belajar bahwa kekuasaan yang berlebihan tanpa adanya oposisi yang kuat dapat membahayakan demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai masyarakat, kita perlu terus memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan dan oposisi dalam politik untuk menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.