Konflik Politik dalam Masa Orde Baru: Menjaga Stabilitas atau Menekan Oposisi?


Konflik politik dalam masa Orde Baru sering menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Pada masa itu, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto sering dianggap menjaga stabilitas politik dengan cara menekan oposisi. Namun, sebenarnya apakah tindakan ini benar-benar menjaga stabilitas atau justru meredam aspirasi politik yang seharusnya diakomodir?

Menurut sejarawan politik, Adrianus Meliala, konflik politik dalam masa Orde Baru seringkali terjadi karena kebijakan pemerintah yang cenderung otoriter. “Pemerintahan Orde Baru lebih memilih untuk menekan oposisi daripada berdialog dengan mereka. Hal ini jelas menimbulkan konflik politik yang tidak sehat,” ujarnya.

Salah satu contoh konflik politik yang terjadi dalam masa Orde Baru adalah saat pemerintah menekan gerakan mahasiswa pada tahun 1998. Menurut aktivis mahasiswa, Munir Said Thalib, tindakan represif tersebut justru memicu kemarahan rakyat dan mempercepat jatuhnya rezim Soeharto. “Pemerintah seharusnya belajar dari sejarah bahwa menekan oposisi bukanlah cara yang efektif untuk menjaga stabilitas politik,” tegasnya.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk memahami bahwa konflik politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dinamika demokrasi. Menjaga stabilitas politik bukan berarti harus menekan oposisi, melainkan dengan membangun dialog dan kompromi yang konstruktif. Seperti yang dikatakan oleh politikus senior, Amien Rais, “Kita harus belajar untuk menerima perbedaan pendapat dan bekerja sama mencari solusi terbaik bagi bangsa ini.”

Dengan demikian, konflik politik dalam masa Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Menjaga stabilitas politik bukanlah tentang menekan oposisi, melainkan tentang membangun kepercayaan dan kerjasama antara pemerintah dan rakyat. Sebuah langkah yang lebih berkelanjutan untuk memastikan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Theme: Overlay by Kaira Extra Text
Cape Town, South Africa